EKSPEDISI HIJAU-BIRU: DARI CANGKANG KE SAMUDRA, MEMBACA KISAH EKOSISTEM YANG TERLUPAKAN

Divisi Konservasi Konservasi Padang Lamun

 Salam Cangkang!

            Berada di antara terpaan angin laut dan ombak yang menghantam karang, Anggota Muda Igir Samudra Divisi Konservasi Padang Lamun, UPL MPA Unsoed, melakukan analisis hubungan antara kualitas air, kondisi padang lamun, dan keberadaan gastropoda yang terdapat di kawasan Pantai Karapyak, Desa Bagolo, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus–19 Agustus 2025. Tim penelitian ini terdiri dari Habib Manarul Huda, Hasna Nazhimah Rasya, Ihsaan Hanafi, Marelyne Shinta Probhowati, Rina Melinda Dewi Asih, Wildan Mufti Mursalin dan Zebi Femi Ibrahim Aryanto. Didampingi oleh dua orang anggota biasa yaitu, Muhammad Dika Ardani (NRP.UPL-2023512/EK) dan Alfi Alifia Ghaisani (NRP.UPL-2024513/CK). Operasional pengembaraan dilakukan untuk menerapkan keterampilan pengambilan data di lapangan sesuai dengan apa yang telah dipelajari dari jurnal dan beberapa kegiatan sebelumnya. Bukan hanya sekadar pengambilan data, lebih daripada itu, pengalaman di Pantai Karapyak menjadi sebuah pengingat, bahwa konservasi bukan hanya tentang menjaga alam, tetapi juga membangun kedekatan antara manusia dan alam, khususnya dengan laut.

Kawasan Pantai Karapyak merupakan ekosistem pesisir dengan potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, khususnya komunitas lamun dan gastropoda. Ekosistem lamun berfungsi menjaga stabilitas pesisir, penyedia habitat, serta sumber nutrien bagi organisme laut. Lamun dan gastropoda juga sering dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas perairan. Keduanya sangat peka terhadap perubahan lingkungan, seperti meningkatnya sedimentasi atau pencemaran. Jenis, jumlah, dan kondisi lamun serta gastropoda yang ditemukan di Pantai Karapyak mencerminkan tingkat kesehatan dan keseimbangan ekosistem pesisirnya.

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk pengambilan data tumbuhan lamun, diantaranya ada citra satelit, transek kuadran, foto/video transek dan drone serta masih banyak lagi cara lainnya. Tim memilih metode transek kuadran sebagai cara pengambilan data. Teknik ini dilakukan dengan menarik garis lurus di area penelitian, lalu meletakan kuadran berbentuk segi empat di sepanjang garis tersebut, dengan jarak antar kuadran adalah 10 meter. Pengambilan data dilakukan pada tiga stasiun yang masing – masing terdiri tiga transek dan kuadran berukuran 50 cm x 50 cm. Dari setiap kuadran, Tim mengumpulkan sampel lamun dan gastropoda menggunakan kantong ziplock berlabel untuk menjaga kejelasan asal sampel. Seluruh sampel kemudian disimpan dalam coolbox berisi es batu untuk mempertahankan kondisi awal sampel hingga proses identifikasi. Pengukuran kualitas air dilakukan langsung di lapangan, meliputi parameter suhu, salinitas, pH, kekeruhan, kandungan nitrat dan fosfat, serta kecepatan arus.

Kuadran 50x50

Sepanjang jalannya pengamatan tim, Thalassia hemprichii tampak mendominasi kawasan penelitian. Lamun jenis ini memiliki ciri khas berupa daun panjang menyerupai pita hijau yang terhampar rapat, seakan membentuk padang rumput di dasar laut. Keberadaannya yang melimpah menjadi pertanda bahwa kualitas perairan Pantai Karapyak masih cukup sehat. Thalassia bukan hanya penguat sedimen dan penghasil oksigen, tetapi juga rumah aman bagi ikan-ikan kecil yang sedang tumbuh, tempat siput laut mencari makan, hingga arena persembunyian bagi invertebrata mungil. Tim juga mencatat kehadiran Enhalus acoroides meski jumlahnya lebih sedikit. Jenis ini dikenal sebagai lamun berdaun lebar dengan akar yang kuat, mampu mencengkeram dasar perairan berpasir maupun berlumpur. Meski tidak mendominasi, kehadiran Enhalus menjadi tanda bahwa ekosistem Karapyak masih menyimpan keragaman lamun yang penting bagi keseimbangan lingkungan pesisir

Tumbuhan Lamun

Kemudian tim juga mencatat kehadiran berbagai spesies gastropoda yang menambah warna ekosistem  Pantai Karapyak. Beberapa di antaranya adalah Pyrene testudinaria dan Rapana venosa, yang dikenal sebagai gastropoda pemakan bangkai dan berperan penting menjaga kebersihan perairan dari sisa organisme mati. Dari kelompok predator, tim menemukan Conasprella bodartii dan Conus aristophanes, siput laut beracun dengan corak cangkang indah yang sekaligus menjadi penanda keseimbangan rantai makanan di laut. Tak kalah menarik, terdapat Monetaria moneta dan Monetaria annulus, gastropoda bercangkang mengilap yang dalam sejarahnya pernah digunakan sebagai alat tukar di berbagai peradaban pesisir. Sementara itu, ada juga spesies lainnya, seperti Nassarius livescens, Nassarius albescens, dan beberapa kerabat dekatnya yang berperan sebagai “pembersih alami” dan mereka juga sensitif terhadap perubahan kualitas lingkungan, sehingga dapat digunakan sebagai bioindikator kesehatan ekosistem. Adapun jenis lain seperti Euplica scripta, Cronia aurantiaca, dan Orania mixta menambah ragam keindahan bentuk dan fungsi, masing-masing memiliki pola dan warna cangkang yang unik.

Gastropoda (1)

Gastropoda (2)


Semua temuan ini menunjukkan bahwa padang lamun Karapyak tidak hanya menjadi habitat utama bagi lamun seperti Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides, tetapi juga rumah bagi komunitas gastropoda yang kaya, mulai dari pengurai, predator, hingga spesies bersejarah. Keberagaman spesies tersebut menegaskan bahwa Karapyak menyimpan potensi besar sebagai laboratorium alami untuk memahami keterkaitan antara kualitas air, padang lamun, dan biota asosiasinya.

“Dari lamun yang berakar kuat hingga cangkang yang terdiam di pasir, Karapyak berbisik tentang kesabaran, ketahanan dan juga sebuah harapan. Sebuah pesan yang tak boleh hilang ditelan ombak. Jejak Tim di Pantai Karapyak tertinggal di sini, tapi Samudra akan selalu membawa ingatan itu jauh ke segala arah.” 




Reactions

Posting Komentar

0 Komentar